Daftar Isi
Masih Zaman Dijodohin?
Orang bilang sekarang bukan lagi zamannya Siti Nurbaya, di mana orangtua bisa memaksakan kehendak sesuka hatinya untuk menjodohkan anak dengan pilihan orangtua.
Seharusnya pernikahan menjadi hal yang membahagiakan bagi semua pihak, baik untuk para undangan yang hadir, untuk keluarga besar, dan terutama untuk kedua mempelai.
Kalaupun ada isak tangis yang mewarnai hari bahagia itu, hanyalah sebatas isak tangis bahagia pertanda keridhoan dan suka cita akan takdir yang menyambut.
Akan lain ceritanya, jika ternyata kedua mempelai melangsungkan pernikahan dalam kondisi tertekan dan terpaksa.
Yup, seringkali rangkaian perjodohan yang belum bisa diterima dengan lapang oleh salah satu pihak, malah membawa isak tangis di hari bahagianya.
Di sisi lain, yang namanya perjodohan, ternyata nggak selamanya juga membawa kemalangan untuk mempelai yang dijodohkan.
Asalkan kedua mempelai dan pihak-pihak yang menjodohkan saling mengenal dan memahami dengan baik, karakter masing-masing pasangan dan sama-sama berniat tulus dalam upaya menyatukan 2 keluarga besar.
Fatimah binti Qais & Usamah bin Zaid
وَ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ رَضِىَ اللُه عَنْهَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَهَا اَنْكِحِى اُسَامَةَ (رواه مسلم)
Dari Fatimah binti Qais RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda kepadanya: “Nikahilah Usamah” (HR. Muslim)
Fatimah binti Qais adalah salah seorang Muhajirin yang berasal dari suku Quraisy. Seorang wanita cantik yang memiliki banyak kelebihan.
Setelah masa iddahnya selesai dari pernikahannya dengan Abu Amr bin Hafsh, ia meminta pertimbangan kepada Rasulullah SAW akan pinangan Muawiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm.
Rasulullah mengatakan jika Abu Jahm adalah seorang lelaki yang suka memukul wanita sedangkan Muawiyah adalah orang yang tidak berharta.
Rasulullah pun menyarankan Fatimah untuk menikah dengan Usamah bin Zaid bin Harits.
Awalnya Fatimah enggan menerima saran Rasulullah, mengingat Usamah adalah mantan budak Rasul dan berasal dari keturunan budak.
Ditambah lagi, fisik Usamah yang tidak setampan lelaki Quraisy pada umumnya.
Namun, begitu Rasulullah SAW menyarankan untuk kedua kalinya agar Fatimah menikah dengan Usamah, Fatimah menerimanya sebagai keyakinan atas pandangan dan perintah Rasulullah SAW.
Usamah bin Zaid bin Harits
Usamah bin Zaid sejak kecil hidup dalam didikan dan kasih sayang Rasul.
Kasih sayang Rasul kepada Usamah sama seperti kasih sayang Rasul kepada orangtua Usamah, Ummu Aiman dan Zaid bin Harits.
Ummu Aiman adalah Ibunda Usamah yang sudah dianggap sebagai Ibu sendiri oleh Rasul.
Dan Zaid bin Harits adalah Ayah Usamah yang juga budak Rasul yang sudah diangkat sebagai anak.
Zaid bin Harits begitu disayang oleh Rasulullah, bahkan karena hal itu, Zaid rela menolak dimerdekakan oleh keluarganya.
Zaid lebih memilih untuk hidup bersama Rasulullah sebagai budak, sebelum akhirnya Rasul memerdekakan Zaid bin Harits.
Sebagaimana Zaid bin Harits yang bersinar di medan perang, seperti itu juga Usamah bin Zaid.
Setelah sempat ditolak ikut berperang karena usianya yang masih terlampau belia.
Namun akhirnya Usamah menjadi panglima perang terakhir sekaligus panglima termuda yang ditunjuk langsung oleh Rasulullah SAW sebelum beliau wafat.
Sekufu Melanggengkan Pernikahan
Rasulullah tentu saja tidak akan menyuruh Fatimah binti Qais untuk menikah dengan Usamah jika tidak meyakini adanya kebaikan yang banyak bagi keduanya. Terbukti setelah menikah, Allah memberkahi rumah tangga Fatimah dan Usamah. Fatimah pun hidup bahagia bersama lelaki yang sangat dicintainya dalam keberkahan Islam.
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kalian.” (Q.S. Al-Hujurat : 13)
Kisah Fatimah dan Usamah menjadi bukti betapa pribadi pasangan yang baik, sholeh, bertanggungjawab dan mempergauli istri dengan sebaik-baiknya,
Lelaki demikianlah, (dengan seizin Allah) yang sanggup mengubah hati seorang wanita sehingga rela memberikan sepenuh hati dan loyalitasnya kepada pujaan hati.
Yang Menjodohkan dan Yang Dijodohkan Saling Mengenal Baik
Dari kisah Fatimah dan Usamah, kita dapati jika Rasulullah SAW sebagai pihak yang turut andil dalam pernikahan keduanya, sangat mengenal karakter masing-masing pasangan, baik Fatimah maupun Usamah.
Melihat Fatimah sebagai wanita yang memiliki berbagai keutamaan, Rasulullah juga menginginkan agar lelaki yang mendampingi dan mengimaminya adalah lelaki yang sepadan.
Dan Usamah bin Zaid memenuhi kriteria tersebut.
Terlahir dari ibu yang sudah mengasuh Rasulullah sejak kecil dan Ayah yang istiqomah dalam keimanan dan ketaqwaan serta dalam perjuangan membela agama.
Usamah kecil tumbuh menjadi pribadi yang tangguh dan kuat, ditambah dengan didikan dan kasih sayang melimpah dari Rasulullah SAW.
Niat Baik Saja Tidak Cukup
- Menjadi Pe-er (PR) besar bagi orang-orang yang bermaksud baik untuk menjodohkan orang yang dikenalnya dengan orang lain, karena niat baik saja nyatanya tidak pernah cukup.
- Pentingnya untuk saling mengenali satu sama lain antar pasangan, meski orang yang memperkenalkan sudah mengenal kedua mempelai dengan sangat baik.
- Jika kamu yang bertindak sebagai pihak yang mengenalkan, sampaikanlah secara jujur, jika kenalmu baru sebatas permukaan, sebatas satu-dua Jumat dan nggak lebih dalam dari itu. Selalu dan selalu, apa yang nampak baik di luar belum tentu demikian di dalamnya.
Menikah Bukan Karena Terpaksa Atau Sungkan
“Dari Ibnu Abbas RA,bahwa ada seorang gadis menemui Rasulullah SAW lalu bercerita bahwa Ayahnya menikahkannya dengan orang yang tidak ia sukai.
Maka Rasulullah SAW memberi hak kepadanya untuk memilih.”
(HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)
Jauh sebelum kisah Siti Nurbaya hadir dan menggema, di zaman Rasul telah ada wanita-wanita yang menolak pernikahan hasil keinginan Wali (Ayahnya).
Dan Rasul pun memberi pilihan bagi setiap wanita, untuk melanjutkan atau menolak pernikahan tersebut.
Sebaik-baiknya seorang Wali menentukan pilihan bagi orang yang ada dalam perwaliannya, tetap saja yang akan menjalani dan mengabdi dalam rumah tangga adalah kedua mempelai.
Kita sebagai orang luar hanya bisa menghormati setiap keputusan yang diambil oleh setiap pasangan dalam pernikahannya.
Jangan Menikah Karena Ego
Hanya karena orang lain antusias mengenalkanmu dengan orang-orang baru dan berniat baik agar Kamu nggak lagi menjalani kehidupan sendirian,
bukan berarti egomu jadi sedemikian mudah terpancing dan mengambil keputusan tanpa kejernihan akal.
Lupa mempertimbangkan baik dan buruknya ke depan nanti.
Yang ada malah terlihat jika Kamu memasuki pernikahan karena frustasi.
Frustasi dengan kesendirian yang nggak juga berujung.
Pastikan dengan baik alasan Kamu menikah, sebelum pernikahan berlangsung
Bagaimana pun, pernikahan bukan seperti obat penenang atau paracetamol yang ketika penyakit kambuh, dengan mudahnya bisa Kita konsumsi dan ketika tidak dibutuhkan, bisa Kita abaikan.
Mitsaqan Ghaliza
Pernikahan disebut juga dengan Mitsaqan Ghaliza, perjanjian yang sangat kokoh.
Karena selain hal-hal yang Kamu dan Dia inginkan, tersimpan juga Hak dan Kewajiban masing-masing pasangan sebagai amanah bagi satu sama lain dan terhadap Allah SWT.
Wanita Pun Berhak Dimintai Pendapatnya
Pernahkah kamu melihat, ada seorang perempuan cantik, bening, dan cerdas menikah dengan lelaki berpenampilan sangat biasa dan tidak menarik?
Bagi kita sekilas mungkin terlihat tidak seimbang, tapi bagi si wanita, boleh jadi ia merasa menjadi wanita paling bahagia di dunia.
Bahagia, karena bisa hidup bersama dengan lelaki yang membuatnya merasa nyaman dan penuh cinta setiap waktunya.
Perkara hati bukanlah perkara zhahir yang bisa dengan mudah dinilai dari luar.
Apalagi dalam penentuan pasangan, sangat tidak bijak untuk memaksakan seseorang menikah dengan pilihan orang yang berkuasa atas dirinya.
Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:
“Seorang janda lebih berhak menentukan (pilihan) dirinya daripada walinya dan seorang gadis diajak berembuk, dan tanda izinnya ialah diamnya.”(HR. Abu Dawud dan Nasai).
Hindun binti Utbah & Abu Sufyan bin Harb
Suatu ketika saat dalam perlindungan, Hindun dihampiri oleh seorang pendeta, dan berkata:
“Bangkitlah tanpa ada rasa kecewa dan janganlah engkau berzina, karena engkau akan melahirkan anak yang kelak akan menjadi Raja.
Mendengar perkataan itu, suami Hindun yang sempat meragukannya (karena fitnah) datang menghampiri dan meraih tangan Hindun.
Tapi Hindun menjauhkannya dan berkata lebih menginginkan mendapatkan anak tersebut dari lelaki selain suaminya.
Hingga tiba saatnya Abu Sufyan menikahinya dan mereka dikaruniai Muawiyah yang kelak menjadi penulis wahyu untuk Rasulullah dan diangkat menjadi Gubernur Syam di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.
(Dan pada akhirnya, setelah kematian Utsman bin Affan, Muawiyah terlibat pertikaian dan perpecahan dengan kubu Ali bin Abi Tholib).
Karena bagi wanita, menikahi seorang lelaki bukan hanya sebatas kesenangan,
tapi juga tentang mencari Ayah terbaik bagi anak-anak yang akan dilahirkannya nanti.
Karena Pernikahan Bukan Sekedar Kesepakatan Bisnis dan Melanggengkan Silaturahim
Pernikahan seharusnya tidak hanya merekatkan kedua insan, tapi juga merekatkan 2 keluarga besar.
Sudah mafhum jika dalam suatu pernikahan, bukan hanya kemesraan pasangan yang diharapkan, tetapi juga hubungan harmonis yang terjalin semakin erat antara kedua orangtua ataupun keluarga besar.
Ketika pernikahan berjalan, akan ada proyek-proyek baru yang digoalkan.
Sayangnya, pernikahan seperti ini juga beresiko menghancurkan masa depan rumah tangga pasangan. Iya kalau hubungan 2 keluarga besar bisa saling harmonis seterusnya.
Jika tidak, kedua pasangan justru akan ditempatkan pada situasi rumit di mana harus memilih salah satu antara keluarga besar atau pasangan yang dicintai sepenuh jiwanya.
Meski pada setiap pernikahan, akan ada saatnya setiap kita dihadapkan pada situasi demikian, memilih antara keluarga besar atau keluarga kecil yang sedang dibangun saat ini.
Berhasil atau Tidak, Pernikahan adalah Amanah Bagi Pasangan, Bukan Pihak yang Menjodohkan
“Aku gapapa dinikahin sama lelaki pilihan Bapak. Tapi kalau ada apa-apa sama pernikahanku, itu semua salah Bapak!”
Hmmm, gimana menurutmu dengan pernyataan itu?
Atau cerita tentang seorang mempelai yang tiba-tiba kabur dari rumah yang telah didiami bersama pasangannya, padahal janur kuning belum lagi mengering.
Usut punya usut, mempelai yang melarikan diri nggak sanggup bila harus berpura-pura bahagia bisa berduaan terus dengan pasangan sahnya.
Kabur dan kehilangan nama baik masih lebih dipilihnya daripada seumur hidup harus melayani dan mengabdi dalam pernikahan bersama pasangan yang tidak diinginkannya.
Ketika 2 individu memasuki gerbang pernikahan, segala hal yang baik dan buruk di dalamnya sudah menjadi tanggung jawab dan wewenang berdua.
Bahagia atau tidaknya, kedua pasanganlah yang bersama-sama mengupayakannya.
Bukan lagi mengharapkan orang lain (keluarga besar) bisa selalu hadir dan membawa hadiah berupa kebahagiaan secara gratis dan tanpa putus.