5 Type Pasangan yang Sebaiknya Kamu Hindari
June 2, 2023Alasan Kenapa Kamu Belum Menikah Juga?
May 9, 2022Masih Ragu, Menyekolahkan Anak di Pesantren?
February 25, 2022Jangan Asal Bersih! Rahasia di Balik Mandi Wajib yang Perlu Kamu Ketahui.
- samara
- June 18, 2023
[caption id="attachment_963" align="aligncenter" width="300"] moslem couple by freepik.com[/caption]
Junub : Berjalanlah ke Jaanib (sisi lain)
– sisi lain dari memandang kenikmatan yang terjadi antara 2 insan –
Dilansir dari kitab Al-Fathul Mubin, karangan Imam Al-Sya’rani, tentang Rahasia Memahami Rukun Islam Lebih Dalam.
Dikatakan bahwasanya junub pada hakikatnya adalah keberjarakan dan ketersingkirkan dari hadirat sifat-sifat Allah Yang Maha Agung.
Kata junub itu sendiri berasal dari ungkapan: “Berjalanlah ke jaanib (ke sisi lain).”
Hubungan biologis adalah perbuatan yang tidak Allah lakukan dan Dia mensucikan Diri-Nya dari tuduhan manusia yang menisbahkan perilaku itu kepada-Nya.
Junub adalah hubungan suami istri yang hanya terjadi dengan persetubuhan keduanya, baik dalam keadaan terjaga maupun tidur, dan Tuhan adalah Zat Yang Esa tanpa pasangan.
Karena itu, Allah memerintahkan hamba-Nya untuk membasahi dan menyucikan seluruh anggota tubuh agar badan dan hati diringankan dari beban junub yang merupakan keberjarakan terjauh dari sifat-sifat Allah Yang Maha Esa dan Tidak Berpasangan. Ini adalah sekaligus sebagai upaya mengembalikan kemanusiaan seorang hamba.
Ketika seorang hamba telah menyucikan kemanusiaannya, ia kembali layak memasuki wilayah keharibaan Allah Yang Maha Esa dan Maha Benar serta mendaras kitab suci-Nya.
Karena kesucian lahiriah akan menjalar kepada kesucian batin. Mensucikan kembali hati dari kuasa syahwat yang melingkupinya saat berada dalam puncak kenikmatan, kondisi yang membuatnya lupa dari segala sesuatu dan lalai dari mengingat-Nya. Karena hanya orang-orang Saleh dan para Nabi dan Rasul sajalah yang sekejab pun hatinya tak pernah lupa dari mengingat Allah.
Orang yang junub ditamsilkan seperti orang yang tengah menghadap Raja yang sedang memandanginya. Orang itu tiba-tiba merasa mulas dan bergegas memenuhi hajatnya dengan berlari menuju kamar kecil, meninggalkan ruang pertemuan tanpa izin dan lebih mementingkan pelampiasan demi kebutuhan diri sendiri ketimbang Sang Raja. Ia bahkan sama sekali lupa kepada Sang Raja.
Ketika akan kembali dan memasuki ruang pertemuan, ia melangkah dengan malu. Karena itulah ia berusaha keras membersihkan dirinya dengan segala macam cara yang diketahuinya, demi menutup celah dan cacat perilaku yang telah diperbuatnya.
Demikian halnya junub. Kala membasuh seluruh anggota tubuh, ia mesti berniat untuk mensucikan dan membersihkan diri dari segala hal yang pada hakikatnya menjadi sebab keberjarakannya dari Allah SWT.
Berniat dalam setiap basuhan saat Mandi Junub
Barangsiapa menginginkan Tuhannya, wajiblah ia ketika membasahi tangan untuk berniat menyucikan tangannya dari segala perbuatan yang menjauhkan dirinya dari Allah serta mencegah tangannya dari perbuatan yang memperlebar jarak antara dia dan Tuhannya.
Saat berkumur-kumur, ia wajib berniat menyucikan dan membersihkan mulutnya dari ucapan yang keji dan buruk. Dengan demikian, lidah dan mulutnya menjadi pantas berzikir kepada Allah Yang Maha Suci, Maha Tinggi Lagi Maha Luhur.
Ketika menghirup air wudhu dengan hidung lalu mengeluarkannya, ia wajib berniat menghirup aroma keindahan Dzat yang dicintainya dengan merasakan rasa rindu di dalam dada.
Kala menyela-nyela rambut maupun janggut, ia wajib berniat membebaskan diri dari tangan-tangan yang menguasai dan dapat menjerumuskannya dari tingkat tertinggi menuju jurang terdalam serta dari segala pemandu menuju selain Allah.
Seperti disebutkan dalam Al Quran: “Orang-orang yang berdosa dikenali dengan tanda-tandanya, lalu direnggut ubun-ubun dan kakinya.” (Q.S. Ar-Rahman : 41).
Saat membasuh kepala, berniat melenyapkan nafsu dan rasa haus akan kekuasaan. Saat membasahi wajah, berniat menyucikan wajah dari kekerasan, mengembalikan kendali diri menuju ketaatan kepada Allah, dan mengarahkan jiwa untuk semakin mendekat pada-Nya.
Saat membasahi kedua mata, berniat untuk menyucikan kedua mata dari pandangan kepada hal-hal makruh dan kepada selain Allah. Saat membasahi leher, berniat untuk membebaskan diri dari belenggu penghambaan kepada segala sesuatu selain Allah.
Saat membasahi anggota tubuh bagian kanan dan kiri, berniat untuk menyucikan diri dari sikap mengesampingkan Allah dan berniat untuk bersandar hanya kepada-Nya.
Saat membasahi punggung, berniat untuk menihilkan kebergantungan kepada selain Allah dan membuang seluruh keangkuhannya. Saat membasahi dada, benamkan tekad untuk melenyapkan hasrat akan menepuk dada sendiri pada panggung-panggung publik dan membuang keinginan untuk membusungkan dada, mencari nama di antara hamba-hamba Allah, meraup pujian, acungan jempol dan tepuk tangan, serta membuang kecurangan dan keculasan dari dadanya.
Saat membasahi perut, berniat untuk menyucikan diri dari konsumsi haram maupun syubhat, menepis keraguan yang bersarang dalam kalbu, serta menghalau sifat-sifat merusak yang tersembunyi rapi di dalam relung hati.
Saat membasahi bagian belakang bawah dan paha, berniat untuk menyucikan diri dari duduk-duduk maupun kelambanan untuk bangkit kepada hal-hal yang Allah ridhai.
Saat membasahi kedua kaki dan betis, berniat menyucikan diri dari langkah menuju keburukan dan nafsu serta melepas rantai kemalasan saat datang panggilan kebaikan.
Bila setiap basuhan pada anggota tubuh diniatkan sedemikian rupanya untuk kesucian jiwa, siapa pun setelahnya akan bersih lahir-batinnya dan lebih mudah mendapatkan manisnya iman dan ampunan, terlepas dari kegundahan yang mendekap. Bersiap menerima tajalli Allah dalam hatinya. Karena sesungguhnya, menjaga adab lahir sama halnya dengan menjaga adab batin, yang akhirnya bertujuan untuk menerima cahaya Allah lebih dekat.
Alasan Kenapa Kamu Belum Menikah Juga?
- samara
- May 9, 2022
Kenapa Kamu Belum Menikah Juga?
Kata Kamu, Kata Dia, dan Kata Mereka
Zaman orangtua Kita dulu, umur 25 tahun belum menikah dianggap sudah nggak laku, WARNING!, tanda-tanda masa pamormu mulai meredup.
Gimana engga? Karena seperti yang sama-sama Kita tahu, banyak dari orangtua Kita yang sudah menikah di usia belasan tahun.
Dan kini, seiring bergesernya nilai-nilai budaya serta cara pandang kawula muda yang lebih modern, sebagian di antaranya tidak lagi memprioritaskan pernikahan sebagai langkah penting yang harus dicapai sesegera mungkin.
Sebagian berpikir:
Untuk apa menikah, jika belum mapan dan belum sanggup berdiri di atas kaki sendiri, yang ujung-ujungnya malah menyusahkan keluarga besar, menjadikan teman dekat dan kenalan sebagai ban serep untuk setiap kesulitan yang belum mampu Kita hadapi.
Daripada pusing memikirkan pertanyaan dan tuntutan dari orang lain seputar: “Kapan Kawin?” atau “Kenapa Kamu Belum Menikah Juga?” yang membuat Kita akhirnya menganggap dan menjadikan pernikahan sebagai 1 bagian dari siklus hidup yang wajib dilalui, tanpa melihat ribuan tanggung jawab yang menyertainya, kenapa nggak coba memantaskan diri dulu dengan sebaik-baiknya?
-Nikmatin Aja-
Ibu
Kapan Ibu bisa nimang Cucu dari kamu? Ibu udah pingin banget punya cucu lagi
Tetangga Oh Tetangga
Kenapa Kok Nggak Nikah-nikah?
TRAUMA??
Temen Sekantor
Semua orang yang Gue kenal udah pada nikah, Emang Lu nggak kepengen kaya Kita-kita?
ex-
Elu masih belum bisa move on juga dari Gue?
Kata Orang Jodoh itu di Tangan Tuhan
Kata Gue: Kalau emang jodoh itu di tangan Tuhan, kenapa mereka nggak nanya ke Tuhan tentang siapa jodoh Gue dan kapan Gue bakalan ketemu sama dia yang ada di tangan-Nya.
Rangga, 29 tahun
-tokoh ini hanya fiktif belaka-
Kesibukannya dalam membangun karir menempatkan Rangga pada situasi yang mau nggak mau, suka nggak suka, jadi serba ‘Asik Sendiri.’
Bukannya tidak ada usaha yang Rangga lakukan untuk menjalin hubungan dengan lawan jenis. Namun kata-kata ‘SERIUS’ memang masih jauh dari pikiran Rangga.
Ketertarikannya masih berkisar pada fase mengejar kemapanan semuda mungkin, apalagi begitu menyadari ketertinggalannya dari teman-teman sebayanya.
#diaryRangga
Bima, 35 tahun
-bukan nama sebenarnya-
Sebagai anak tunggal yang tinggal dan dibesarkan di lingkungan keluarga yang biasa-biasa saja, Bima mengerti betul bagaimana sebagai seorang Janda, perjuangan sang Ibu tak pernah ada ujungnya. Meski peluh terus mengucur di tengah kelelahan yang tak berkesudahan, Ibu masih harus melangkah tanpa ragu.
Bima mungkin masih lebih beruntung dibanding anak-anak lain yang senasib dengannya. Masih ada Pak De dan Bu De yang selalu sigap mengulurkan tangannya untuk membiayai keperluan sekolah Bima. Meski tak seberapa, cukuplah untuk melepas penat Ibu barang sesaat 2 saat.
Begitu besarnya perjuangan Ibu membesarkan Bima di tengah keterbatasannya, lantas bagaimana mungkin Bima tidak terpikir untuk membayar kembali semua jerih payah Ibunda tercinta dengan kesenangan dan kebahagiaan di masa tuanya?
Begitu lulus kuliah, fokus Bima hanya 1, cari uang sebanyak-banyaknya untuk meningkatkan perekonomian keluarga, setidaknya mengembalikan harga diri Ibu yang dulu kerap terinjak-injak dan dipandang sebelah mata oleh orang-orang sekitarnya.
#rumahIbudanBima
Arum, 39 tahun
-juga bukan nama sebenarnya-
Lain Rangga dan Bima, lain lagi Arum.
Di usianya yang kini menginjak 39 tahun, Arum masih saja sendiri.
Sebenarnya bukan Arum tidak ingin menikah. Bukan juga karena patah hati berkepanjangan.
Tapi entah kenapa, setiap kali mulai berkenalan dengan lawan jenis, selalu saja ada hal yang membuat ‘tidak sreg’.
Entah karena ternyata si Dia yang sudah beristri,
atau karena Ibu/ Bapak yang tidak setuju (Ibu setuju, Bapak tidak setuju, atau sebaliknya),
atau karena Dia yang tiba-tiba menghilang tanpa kabar,
atau bahkan keengganan datang dari sisi Arum sendiri yang masih saja maju-mundur setiap kali merespon lelaki yang datang menghampiri.
Kalau kata Pak Tuo di kampung, Arum ini harus berkenalan dengan 10 orang lelaki dulu, baru kemudian bisa mendapatkan jodoh yang tepat.
Untungnya Bapak dan Ibu bukanlah orang yang mudah percaya dengan apa kata orang.
“Selama Kita punya Allah, percaya saja dengan takdir yang telah Dia siapkan untuk Kita.” Begitu selalu Ibu berucap.
#mengHarumbersamaIbu&Bapak
-IBUku-
Kamu itu bukan tidak ingin menikah, bukan juga karena masih ada banyak hal yang ingin Kamu upayakan untuk menyenangkan hati Ibu.
Kamu itu, cuma belum bertemu saja dengan Dia.
Dia yang akan membuat Kamu bertekuk lutut.
Dia yang mampu membuat duniamu terbolak-balik menjadi dunianya.
Dia yang mampu menjadikan Siang dan Malammu cuma buat Dia.
Sebelum nantinya Kamu jatuh cinta, pastikan Dia adalah orang yang tepat untuk semua usaha dan pengabdian cintamu.
Nikah itu Personal
Antara Aku, Kamu, dan Dia sang pemilik takdir.
Bukan sebatas cinta yang geloranya bisa menguap sewaktu-waktu,
tapi juga berbalut rambu-rambu Hak dan Kewajiban dalam bingkai Sakinah, Mawaddah, wa Rohmah.
Yang Penting Yakin
Setiap Rumah Tangga, ada Rizkinya
Ada yang memilih menikah di usia muda dan percaya jika Allah akan memampukan setiap hamba-Nya dalam pernikahan, selama hamba-Nya tidak putus usaha dan tawakal untuk setiap takdir-Nya.
Yang Baik untuk Yang Baik
Karena Pernikahan Bukan Main-main
Ada yang memilih untuk berusaha dan memantaskan diri dulu sebaik-baiknya sebelum tiba saatnya memutuskan serius dalam Akad Nikah.
Mohon Doanya
Antara Sayang dan Sarkasme kadang beda-beda tipis
Ada juga yang karena sudah merasakan bahagianya berumah tangga, jadi tak hentinya meng’gojlok’ para Jomblo dengan gurauan, “Kapan Nikah, keburu kiamat ntar, masih Jomblo aja.”
Masih Ragu, Menyekolahkan Anak di Pesantren?
- samara
- February 25, 2022
Apa yang Terbayang di Pikiran Anda Bila Harus Menyekolahkan Putra/Putri Tercinta di Pesantren?
- Khawatir anak kelaparan?
- Nanti kalau kuper gimana? Nggak bisa bergaul sama dunia luar
- Takut kudisan, pulang-pulang dekil, nggak terawat
- Kasian nanti stress, terlalu banyak hafalan dan ilmu yang harus dipelajari sementara waktu istirahatnya hanya sedikit
- Mau kerja apa nanti kalau bisanya cuma ngaji aja?
- Takut ah, nanti keluar-keluar malah beringas, karena di dalam pesantren nggak pernah ketemu sama lawan jenis
- Nggak deh, nanti pulang-pulang jadi serba ceramahin ibu bapaknya, serba haram semuanya
- Kangen, sepi kalau nggak ada anak-anak di rumah
Dan sederet kekhawatiran lain yang kerap kali bikin maju mundur untuk menyekolahkan anak di pesantren.
Maju-mundur Menyekolahkan Anak di Pesantren
[caption id="attachment_789" align="aligncenter" width="503"] in Dien I’m in Love | pic. @rachidnl on Unsplash[/caption]
Tepatkah Menyekolahkan Anak ke Pesantren?
Keinginan untuk menyekolahkan anak di lingkungan pesantren, tentu bukan pilihan yang mudah. Namun insyaAllah niat tulus itu akan menjadi berkah tersendiri untuk anak dan keluarga besar.
Banyak orangtua yang masih ragu untuk menyekolahkan anak-anaknya di pesantren. Beragam alasan muncul sebagai bentuk keraguan, di antaranya seperti alasan-alasan yang sudah diungkapkan sebelum ini.
Bekal Terbaik untuk Anak
Sebagai orangtua, Kita memiliki kewajiban memberikan bekal pendidikan yang terbaik untuk anak-anak, terlebih dalam hal agama. Zaman boleh berubah, namun prinsip dan pegangan hidup jangan sampai berubah-ubah. Dan ini hanya dapat dilakukan bila anak-anak sudah ditanamkan fondasi agama yang kokoh sejak dini.
Keberadaan sekolah berbasis agama, khususnya pesantren akan sangat membantu Kita sebagai orangtua untuk menanamkan nilai-nilai keagamaan yang lebih intens sebagai bekal masa depan anak. Apalagi di zaman yang makin sekuler dan hedonis seperti saat ini, di mana kebebasan HAM bisa menjadi suara-suara dan sorotan yang lebih diagungkan dibandingkan prinsip-prinsip ketuhanan. Ah, akan berat sekali tentunya pertentangan batin yang dimiliki seseorang tanpa landasan yang memadai dalam hal agama.
Sebagian orangtua yang menyekolahkan anak-anaknya ke pesantren memiliki harapan yang sangat besar akan pemahaman keberagamaan anak-anaknya kelak. Dengan memasukkan putra-putrinya ke pesantren, diharapkan nilai-nilai dan prinsip ketauhidan yang dimiliki semakin kokoh sehingga mereka tidak mudah terbawa arus lingkungan pergaulannya. Bergaul boleh, tapi tetap ada prinsip-prinsip yang tidak bisa dilanggar.
Meski jelas tidak semua lulusan pesantren dapat dikatakan sudah benar dan sempurna perilakunya, namun tetap ada banyak hal positif yang bisa dijadikan pertimbangan untuk memasukkan anak-anak ke pesantren.
Dengan lingkungan pergaulan yang lebih heterogen, seatap dengan santri-santri yang berbeda latar belakang dan budayanya, para santri diajarkan untuk mengedepankan toleransi dalam pergaulan sehari-hari. Sehingga bila saatnya tiba, mereka diharapkan sudah lebih siap terjun ke masyarakat dengan tingkat kematangan emosi dan spiritual yang lebih tinggi dan lebih siap memberikan kontribusi maksimal untuk kehidupannya.
Menjadi Santri Bukan Berarti Menjadi Ahli Surga
Dan meski menjadi santri sama sekali bukan jaminan untuk menjadi ahli Surga, namun di pesantren, umumnya anak-anak akan ditempa dengan banyak hal yang membutuhkan kemandirian dan kematangan bersikap dan berlaku. Matang secara emosi dengan nilai-nilai ketuhanan yang menjunjung tinggi kasih sayang untuk sesama.
Pesantren layaknya miniatur kehidupan bermasyarakat secara real, di mana para santrinya akan merasakan berbagai macam hal, mulai dari ujian kemandirian, pluralisme budaya, kesederhanaan hidup, ajaran sopan-santun yang lebih ketat dan tentu saja penguasaan ilmu-ilmu agama yang akan lebih banyak dipelajari dan dipraktekkan. Apakah ilmu itu hanya sampai di lisan atau bisa menyerap ke hati, tentu hasilnya akan berbeda bagi setiap santri.
Memutuskan pesantren sebagai pilihan sekolah terbaik untuk anak-anak Kita, pastilah tidak mudah. Bayangan akan berpisah jauh dan lama serta tidak bisa melihat perkembangan anak selama masa pendidikannya, menjadi alasan tambahan yang cukup berat bagi Kita sebagai orangtua untuk melepas buah hati tercinta.
[caption id="attachment_787" align="aligncenter" width="264"] Islam is My Way | pic. @mihaisurdu on Unsplash[/caption]Keputusan akhir ada di tangan Anda sebagai orangtua. Bagi sebagian pasangan, memasukkan anak-anak ke pesantren adalah sebagai bentuk perwujudan dari memberikan (mewakafkan) anak keturunannya agar bisa berdaya bagi kepentingan umat di sepanjang usianya dan di zamannya nanti, dengan wasilah ilmu-ilmu dan keberkahan yang didapatkannya selama menempuh pendidikan di pesantren.
Namun demikian, dari sekian banyak pesantren yang tersebar di negeri ini, Kita tentu harus bijak memilih dan menyesuaikan, tempat mana yang ingin Kita percayakan sebagai fondasi keilmuan dan keimanan anak-anak Kita kelak.
Tenang dalam Akidah yang Benar
Dan bagi sebagian besar Orangtua yang tidak menjadikan pesantren sebagai tujuan, jalur sekolah non asrama berbasis agama akan menjadi alternatif yang lebih tepat. Selain tidak harus berpisah lama dengan anak-anak, upaya menumbuhkan karakter pengasuhan yang lebih sesuai dengan keinginan orangtua juga akan lebih mudah untuk dilakukan. Walau tentu saja, jika ingin mencari ilmu agama yang lebih banyak dan mumpuni, otomatis dunia pesantren lebih tepat untuk dipertimbangkan.
[caption id="attachment_795" align="aligncenter" width="300"] Learning is My Passion | pic. @baim on Unsplash[/caption]Apapun pilihan sekolah yang ingin dimasuki, jangan biarkan anak-anak Kita bertumbuh tanpa memiliki pegangan ilmu keagamaan yang cukup. Karena seperti yang sama-sama Kita tahu, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholeh, keduanya akan menjadi amal jariyah yang terus mengalir pahalanya.
Be The First for Them
Dan jangan pernah merasa berat untuk mengusahakan segala upaya dalam pendidikan agama anak-anak Kita, karena dari setiap harta yang kita sedekahkan untuk pendidikan anak-anak, terutama untuk pendidikan dalam menegakkan agama Allah, setiap sen-nya juga akan menjadi jariyah yang tak putus sampai akhirat nanti.
Kelak, di masa tua, Kita akan menyadari, orang pertama yang akan merasa paling beruntung dengan kehadiran anak-anak yang sholeh, tentu saja adalah Kita sebagai orangtuanya.
Jangan pernah lewatkan kesempatan untuk menabur benih kebaikan dalam setiap pendidikan dan amal sholeh yang dilakukan anak keturunan kita.
Seorang Ustadz pernah berkata,
“Selagi Kamu mampu mengajarkan huruf-huruf dan bacaan Quran yang pertama untuk anak-anakmu, jangan biarkan orang lain mengambil kesempatan itu dengan mendapatkan jariyah yang tak putus, walau hanya dari Alif-Ba-Ta nya saja.”
Sandwich Generation : Hal Tabu yang Suka Nggak Suka Harus Dilalui
- samara
- February 15, 2022
Dilema Sandwich Generation
Sandwich Generation: Ungkapan yang kini umum diberikan sebagai perumpamaan bagi orang-orang di rentang usia tertentu yang berada dalam kondisi terjepit di antara 2 generasi, generasi Orangtua (dan keluarga besar) di atasnya, dan Anak-anak sebagai generasi di bawahnya.
Sebagai manusia normal, Kita akan melalui siklus hidup yang terjadi pada mayoritas manusia pada umumnya:
Terlahir ke dunia – Tumbuh besar – Mengenyam Pendidikan – Bekerja dan Mencari Nafkah – Menikah – Memiliki Keturunan – Memasuki Usia Senja – dan Menunggu Ajal Datang Menjemput
Bagi kebanyakan orang, jarak waktu yang dimiliki antara bekerja dan melangsungkan pernikahan tidaklah lama. Begitu lulus sekolah, kemudian bekerja dan lantas menikah.
Belum sempat memikirkan apa yang diinginkan dan dibutuhkan dalam kehidupannya sendiri, tetiba sudah dihadapkan dengan seluruh kewajiban sebagai Orangtua baru yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Tetiba menyadari jika hidup yang dijalani bagaikan rangkaian gerbong kereta yang berisi kewajiban dan kewajiban.
Seolah banyaknya kewajiban sebagai pasangan dan Orangtua baru belum cukup panjang untuk menjadi antrian perhatian dan pemikiran bagi pasangan muda, di sisi lain, masih harus dihadapkan dengan perhatian yang sama besarnya untuk kedua Orangtua tercinta ataupun keluarga besar lainnya.
Di satu sisi harus menghitung besaran kebutuhan dan kesejahteraan untuk keluarga kecil Kita, dan di sisi lain juga harus mempertimbangan kenyamanan dan kestabilan untuk Orangtua tercinta yang telah bersusah-payah merawat dan membesarkan Kita hingga menjadi seperti saat ini.
Jangankan berpikir untuk kesenangan pribadi, memikirkan kedua sisi ini saja tentunya sudah mengambil porsi yang sangat besar dalam ruang kepala Kita.
Sebelum Kita berbicara tentang adab terhadap Orangtua (birrul walidain), mari Kita sama-sama tidak menutup mata akan banyaknya hal yang terjadi dalam pernikahan 2 insan yang tidak berjalan mulus akibat adanya ketidaksesuaian dalam merespon dan memperlakukan keluarga besar dari kedua pihak, hingga menjadi batu sandungan dan sumber keretakan dari pernikahan keduanya.
Bayangkan jika selama ini (untuk beberapa waktu lamanya), Anda secara aktif berperan sebagai tulang punggung dalam keluarga. Dan setelah memiliki pasangan, Anda tidak bisa lagi memainkan peranan yang sama. Entah karena prioritas yang berubah, ataupun karena tidak adanya persetujuan dari pasangan untuk ikut turun tangan dan membantu perekonomian keluarga besar.
Antara pasangan sudah cocok, namun ternyata ketidakcocokan justru datang dari hubungan antar Menantu dengan Mertua, atau malah dari hubungan antar Besan.
Bahkan tidak jarang, sebagian pasangan lebih memilih menarik diri dari keluarga yang telah membesarkannya selama ini demi menciptakan lingkungan keluarga yang lebih harmonis dengan keluarga kecilnya.
Maka beruntunglah jika Kita dianugerahi pasangan yang sangat menerima dan menyayangi keluarga besar Kita seperti halnya terhadap keluarga sendiri. Belum lagi jika ditambah dengan Orangtua dan Mertua yang super-duper pengertian terhadap Anak dan Menantunya.
Entah kapan persisnya terlahir istilah Sandwich Generation ini. Istilah Sandwich Generation ini, bila tidak disikapi dengan bijak, hanya akan menjadi beban dan dilema tersendiri bagi kalangan yang tengah berada di situasi tersebut.
Seperti sama-sama Kita pahami, Kita mungkin tidak meminta untuk dilahirkan ke dunia ini, tetapi 1 hal yang juga harus sama-sama Kita sadari, kedua orangtua Kita juga pastinya memiliki pilihan untuk melahirkan dan membesarkan Anak-anaknya atau tidak.
Tidak butuh waktu lama bagi Orangtua untuk merelakan dirinya menunduk di hadapan orang lain demi kesejahteraan Anak-anaknya tercinta. Tapi diperlukan niat yang sangat teguh bagi seorang Anak untuk bisa menepuk pundak kedua Orangtuanya dan mengucapkan: “Istirahatlah, Ayah dan Ibu, kini giliranku untuk menggantikan posisi Kalian.”
Nggak mudah memang, untuk diucapkan, apalagi jika melihat rentetan tanggungan dan impian pribadi yang masih menggunung.
Mungkin dari situlah sebabnya terlahir pribahasa: “Kasih Ibu sepanjang masa, Kasih Anak sepenggalan,” saking begitu lazimnya Kita melihat tidak ada 1 pun Anak yang sanggup menyerupai dan membalas kasih sayang kedua Orangtua untuk Anak-anaknya.
Kedua Orangtua bisa saja membesarkan dan mengurus kesembilan Anaknya, tetapi 9 Anak tadi belum tentu bisa mengurus kedua Orangtuanya.
Kata Rasulullah tentang Ayah dan Ibu
Dalam beberapa hadits, Rasullulah mengingatkan Kita untuk tidak berlaku kasar kepada kedua Orangtua, bahkan untuk berkata “Ah/ Hush” saja pada orangtua, Rasul pun melarang Kita. Belum lagi jika Kita mendengar berbagai pernyataan dari Orang-orang sukses tentang arti orangtua dalam setiap kesuksesan yang dicapainya.
[caption id="attachment_483" align="aligncenter" width="300"] Simple Life, Happy Family[/caption]Tidak ada 1 hubungan pun yang bisa memutus ikatan darah antara Anak dan Orangtua, sekalipun untuk hal-hal yang prinsipil sifatnya. Rasulullah SAW pun pernah meminta Asma binti Abu Bakar untuk tetap bersikap sebaik-baiknya kepada Ibunda tercinta yang berbeda keyakinan dengannya. Apa pun dan siapa pun Kita saat ini, tidak ada artinya tanpa andil dari kedua Orang Tua tercinta.
Bahkan, begitu besarnya keutamaan dari memperlakukan kedua Orangtua dengan sebaik-baiknya, sampai-sampai Rasulullah SAW pernah menolak seseorang yang datang dan mengajukan diri untuk berhijrah dan berjihad bersama Rasulullah SAW dan para Sahabat lainnya. Semua itu semata demi menjaga kebaikan dan keutamaan dari berbuat baik kepada Orangtua.
“Dari Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash RA berkata:
Ada seseorang datang kepada Nabi Allah SAW dan berkata:
“Saya berbaiat kepada Tuan untuk berhijrah dan berjihad dengan hanya mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala semata.”
Beliau bertanya:
“Apakah masih ada salah seorang di antara kedua Orangtuamu yang masih hidup?”
Ia menjawab:
“Ya, Masih. Bahkan kedua-duanya masih hidup.”
Beliau bertanya:
“Kamu mengharapkan pahala dari Allah Ta’ala?”
Ia menjawab:
“Ya.”
Beliau bersabda:
“Kembalilah kepada kedua Orangtuamu dan layanilah mereka dengan sebaik-baiknya.”
-H.R. Bukhari dan Muslim-
Sebelum Segala Sesuatunya Terlambat
Rasa-rasanya tidak perlu lagi Kita menunggu 1 kalimat tambahan dari beberapa teman sebaya yang sudah lebih dulu ditinggalkan oleh salah satu ataupun kedua Orangtuanya, yang acapkali secara berulang mereka akan berucap:
“Penyesalan terbesar Saya, karena belum bisa memberikan yang terbaik untuk kedua Orangtua, belum bisa menjadi Anak yang baik di masa usia mereka. Andai saja Saya bisa memperlakukan Mereka dengan lebih baik di masa hidup keduanya.”
Untukmu yang sedang berada di posisi ini, “Tetaplah Semangat, meski Semangat saja tak cukup untuk melangkah.” “Dan Selamat, karena 1 pintu Surga telah terbuka untukmu.”
Semoga Allah meridhoi langkah kaki Kita untuk sama-sama bisa menjadi Anak yang sholeh bagi kedua Orangtua tercinta, baik di masa hidupnya maupun di setelah ajalnya menjemput.
Punya pengalaman menarik dengan kisahmu sebagai Generasi Sandwich? Bagikan pengalamanmu dengan Kita di sini. 1 kisah yang menurutmu biasa saja, bisa menjadi 1 langkah yang besar bagi kehidupan Orang lain.